Anemia gizi besi di masyarakat
atau dikenal dengan kurang darah merupakan salah satu masalah gizi utama di
Indonesia, yang dapat diderita oleh seluruh kelompok umur mulai bayi, balita,
anak usia sekolah, remaja, dewasa, dan lanjut usia.
Berbagai kajian
ilmiah menunjukkan bahwa penderita gizi buruk juga menderita kekurangan zat
besi yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
''Anemia akibat kekurangan gizi dan vitamin serta mineral lainnya masih perlu
perhatian,'' kata dr Rachmi Untoro MPH, Direktur Gizi Masyarakat Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes. Bahkan, dia menambahkan, hampir
seluruh kelompok umur masih menderita anemia di Indonesia.
Berdasarkan
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, prevalensi anemia pada balita 0-5
tahun sekitar 47%, anak usia sekolah dan remaja sekitar 26,5%, dan wanita usia
subur (WUS) berkisar 40%. Sementara survei di DKI Jakarta 2004 menunjukkan
angka prevalensi anemia pada balita sebesar 26,5% dan pada ibu hamil 43,5%.
Melihat beberapa
hasil survei ini, anemia gizi masih merupakan masalah gizi utama pada
anak-anak, ibu hamil, dan wanita pada umumnya.
Jenis dan besaran
masalah gizi di Indonesia 2001 hingga 2003 menunjukkan 2 juta ibu hamil
menderita anemia gizi, 350 ribu berat bayi lahir rendah setiap tahun, 5 juta
balita gizi kurang, 8,1 juta anak dan 3,5 juta remaja dan wanita usia subur
menderita anemia gizi besi, 11 juta anak pendek, dan 30 juta kelompok usia
produktif kurang energi kronis.
"Tetapi
anemia yang memprihatinkan adalah anemia yang terjadi pada ibu hamil dan
balita," kata Rachmi. Kenapa? Pasalnya pada kelompok ibu hamil dan balita
merupakan kelompok yang memiliki masa emas sekaligus masa kritis. Maksudnya,
ibu yang mengandung sangat memerlukan mineral, protein, dan juga asam folat.
Balita juga memiliki masa tumbuh yang besar, termasuk tumbuh kembang otaknya
juga sangat membutuhkan asupan tersebut.
Apabila pada masa
kehamilan seorang ibu dan balita kekurangan mineral, protein, dan asam folat,
seorang anak akan memiliki risiko mendapatkan kerusakan otak permanen. Jika
terjadi kerusakan otak permanen, akan berakibat buruk pada proses perkembangan
otaknya.
Loss
generation
Saat memasuki
sekolah, anak memiliki kecerdasan kurang.
Rachmi mengingatkan,
anemia bisa menyebabkan kerusakan sel otak secara permanen lebih berbahaya dari
kerusakan sel-sel kulit. Sekali sel-sel otak mengalami kerusakan tidak mungkin
dikembalikan seperti semula. Karena itu, pada masa emas dan kritis perlu
mendapat perhatian.
Berbeda halnya
kasus busung lapar. Kendati kulit keriput dan perutnya membuncit, dapat diatasi
seperti sediakala. Sementara balita yang telah mengalami kerusakan otak
permanen sulit diatasi. "Ini yang dikhawatirkan, terjadinya loss
generation karena kerusakan otak. Otak yang mengalami kerusakan sulit untuk
dipulihkan," jelasnya.
Pertumbuhan otak
yang cepat adalah mulai janin dalam kandungan hingga usia 2 tahun. Pada masa
itu yang disebut juga dengan masa keemasan memiliki masa pertumbuhan sel-sel
otaknya mencapai 80%. Sisanya yang 20% baru setelah usia 2 tahun. Oleh karena
itu, ibu-ibu yang melahirkan sangat dianjurkan menyusui anaknya.
Rachmi mengatakan
anemia gizi besi disebabkan adanya hubungan timbal balik antara kecukupan
asupan zat gizi, terutama zat besi dan protein, dengan infeksi penyakit
cacingan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan anemia gizi besi jangka pendek
diarahkan dengan memberikan suplementasi zat besi berupa tablet tambah darah
dan penanggulangan cacingan.
Anak-anak tidak cukup
hanya diberi makanan bergizi. Bila pendarahan yang disebabkan cacing dan
menyebabkan kekurangan darah tidak diatasi, percuma. Contohnya, ada anak yang
makan berkecukupan, tetapi berat badanya kurang. Untuk mengatasi hal itu perlu
program pemberi makanan bergizi sekaligus pemberantasan cacingan.
Dalam pandangan
Rachmi, untuk jangka panjang upaya penanggulangan anemia gizi diarahkan melalui
peningkatan pola hidup sehat dan bersih melalui norma-norma keluarga sadar gizi
dan pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Selain itu, untuk menanggulangi anemia
gizi besi, Depkes memiliki strategi yang mengarah kepada pencapaian kemandirian
masyarakat. Caranya dengan menjalin kemitraan antara masyarakat, dunia usaha,
dan pemerintah.
''Pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa dengan kerja sama yang baik antara pemerintah
daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mengembangkan kegiatan penanggulangan
anemia gizi yang berkelanjutan. Bentuk-bentuk kemitraan yang terjadi di
beberapa daerah seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur layak dipelajari untuk
dijadikan contoh dalam pengembangan program masa mendatang,'' katanya.
sumber: Media
Indonesia Online